BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ketidakstabilan perekonomian di Indonesia telah dirasakan sejak lama. Kekhawatiran dan kritikan mengenai kondisi perekonomian masih terus bermunculan. Reaksi masyarakat sejak awal 1980-an terus muncul sebagai ciri tanggapan dari kebijakan ekonomi orde baru saat itu yang telah dilaksanakan pada periodc-periode sebelumnya yang menghasilkan dampak negatif terhadap kondisi struktur ekonomi. Dampak negatif tersebut antara lain seperti begitu dominannya peran negara dalam melaksanakan kegiatan produksi distribusi dan konsumsi dan juga suburnya praktek monopoli dan oligopoli. Dengan adanya ketimpangan perekonomian tersebut, maka waktu itu muncullah desakan agar pemerintah segera melakukan debirokratisasi dan deregulasi. Selanjutnya digulirkanlah deregulasi dan debirokratisasi oleh pemerintah tepatnya di tahun 1988 dengan harapan agar terbuka kesempatan bagi semua anggota masyarakat untuk berprestasi.
Dunia perbankan merupakan bagian dari perekonomian Indonesia yang mendapatkan peranan yang sangat besar saat itu karena kebijakan deregulasi saat itu menghasilkan dua dimensi yang sangat penting bagi dunia perbankan yaitu Pakjun dan Pakto. Esensi dan reformasi secara keseluruhan dalam sektor keuangan ini diwujudkan dalam UU No. 7/1992 tentang perbankan. Pakjun menghapuskan pagu kredit dari sistem kredit selektif disertai dengan subsidi bunga, serta membiarkan masing-masing bank bersaing untuk menentukan suku bunga kredit dan penghimpunan dana kredit likuiditas juga tidak diberikan lagi, dengan maksud agar tercipta iklim yang mendorong persaingan yang sehat. Sedangkan Pakto 1988 mencakup hal yang lebih luas karena merupakan serangkaian kebijakan yang penting di bidang moneter. Lembaga keuangan dan pasar modal yang tercakup dalam paket tersebut antara lain mendorong pengembangan pasar modal, mempermudah pembukaan kantor cabang dan pendirian batik baru dan memberikan kebebasan yang lebih besar kepada perbankan untLik menetapkan harga produknya dan menciptakan produk-produk baru didalam pengerahan dana (Harlyanti, 2000).
Hasilnya, pengaruh digulirkannya deregulasi 1988 tersebut jumlah perbankan nasional menjadi begitu pesat dan persaingan antar bank menjadi sangat ketat. Akibatnya masing-masing bank berlomba-lomba menaikkan Suku bunga untuk mendapatkan nasabah sebanyak-banyaknya sehingga suku bunga menjadi tinggi. Bersamaan dengan itu pula krisis keuangan mulai melanda di Indonesia (yang juga dialami oleh negara-negara di Asia), yang diindikasikan oleh semakin terpuruknya kurs rupiah terhadap dolar.
Padahal hutang sektor riil di Indonesia kebanyakan dalam bentuk dolar dan bahan bakunya didapat dari impor yang notabenenya dibeli dengan mata uang asing (terutama dolar). Akibat dari tingginya suku bunga diatas, sektor riil kita menjadi terbebani dengan bunga pinjaman yang sangat tinggi apalagi kurs rupiah terhadap dolar melangit sehingga sirkulasi bahan baku impor menjadi terganggu. Hasilnya, sektor riil semakin terpuruk dan bahkan banyak yang menutup usahanya. Krisis yang semula bersumber dari krisis keuangan berubah menjadi krisis ekonomi dan diikuti oleh krisis sektor lainnya. Akibat dari perubahan tersebut, kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas perbankan semakin rapuk dan rush terjadi dimana-mana.
Dari sisi lain perbankan, akibat dari ketidakstabilan ini, kinerja perbankan nasional semakin memburuk, khususnya dihadapkan pada permasalahan negative spread, non performing loan (NPL), kesulitan likuiditas, dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah kondisi permodalannya yang sangat minim, dan gejala seperti ini terus menjalar di kalangan perbankan dan hampir dialami oleh mayoritas perbankan nasional pada waktu itu. Secara teori gejala seperti ini memang bisa saja terjadi karena bukti empiris menunjukkan bahwa gejala kegagalan perbankan (bank failures) yang berakibat pada kepanikan yang terus menjalar itu bisa terjadi di kalangan perbankan, namun bilasanya hanya selama masa ketidakstabilan makroekonomi saja (Sougheas, 1999). Dan akibat dari gejala ini, praktis beberapa bank saja yang memenuhi kriteria permodalan yang berlaku karena sebagian besar tingkat rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) dari bank-bank yang ada dibawah batas 4% (sesuai dengan keputusan Bank Indonesia No. 28/64/K-EP/DIR tanggal 7 September 1995 dan minimal 8% dari nilai Aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) sampai dengan akhir tahun 2001) dan bahkan banyak yang negatif.
Permodalan bagi bank yang ingin survive dan berkembang dalam kegiatan usahanya akibat kondisi perbankan nasional dewasa ini mutlak diperlukan pemupukan dan pengembangan modalnya dengan baik. Bagi sebuah lembaga perbankan, modal besar yang dimilikinya juga akan menimbulkan kepercayaan yang lebih besar bagi para nasabahnya untuk mendepositkan dananya pada bank yang bersangkutan. Dengan demikian semakin cepat bank tersebut dapat mengembangkan permodalannya, semakin terbuka kesempatan untuk memperluas usahanya. Kecukupan modal suatu bank akan mengurangi resiko usaha bank tersebut, antara lain resiko kerugian dalam pemberian kredit, resiko kerugian atas investasi, dan resiko kerugian-kerugian lainnya yang tak terduga. Disamping itu untuk kegiatan operasional khususnya masalah kewajiban pemenuhan rasio kecukupan modal (CAR), Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), Posisi Devisa Netto (PDN) dan penyalur kredit pada pihak terkait batasannya sangat tergantung pada permodalannya. Dengan demikian permasalahan permodalan bagi perbankan nasional perlu segera mendapatkan penyelesaian dengan baik.
Secara teori, modal memang sangat fundamental dan merupakan bagian yang sangat vital bagi dunia perbankan. Modal bank akan memungkinkan suatu bank dalam mengatur entitas perbankan tersebut melalui penyaluran dana yang dibutuhkan untuk mendapatkan sumber daya fisik maupun sumber daya manusia yang dibutuhkan, selain itu juga sangat bermanfaat untuk menghidupkan kembali entitas perbankan dalam kapasitasnya sebagai perusahaan (Hempel el al., 1994). Atas dasar ini, modal (capital) menjadi topik yang sangat penting bagi dunia perbankan yang antara lain tidak hanya membahas mengenal makna pentingnya kecukupan modal (capital adequacy) saja, namun juga membahas mengenai perlunva penentuan standar minimum (total risk-based capital standard) dan harus dipenuhl oleh suatu bank yaitu minimum sebesar 81/0' seperti yang ditetapkan oleh Bank for International Settlement (BIS), dan bahkan membahas mengenai perlunya sistem penilaian resiko oleh suatu bank (risk rating system) baik melalui internal bank sendiri maupun melalui external rating agency agar kecukupan modal bank tidak terganggu dan dapat terhidar dari kebangkrutan (Altman & Saunders, 2001 ; Crouhy et aL, 200 1).
Sehubungan dengan hal tersebut diatas dan mengingat semakin memburuknya kondisi permodalan perbankan dan dengan mempertimbangkan peranan vital bank sebagai lembaga intermediasi (financial intermediary) atau dalam artian diharapkan menjalankan fungsinya tidak hanya dari perspektif institusional saja namun juga dari perspektif fungsional (Scholtens dan Wensveen, 2000), maka pemerintah mengambil langkah penyelamatan melalui program rekapitalisasi. Program ini dimaksudkan agar bank yang masih mempunyai prospek untuk mampu bertahan hidup dan berkembang akan dapat mengoptimalkan fungsinya dalam menopang perekonomian nasional. Langkah ini dinilai jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan likuidasi dan paling tidak untuk saat ini biayanya jauh lebih murah. Selanjutnya masa depan perbankan pasca rekapitalisasi masih tergantung pada sikap, perbankan dan pemerintah sendiril. Dari kalangan perbankan dibutuhkan sikap, dan orientasi baru dalam memandang bisnis perbankan. Pengelolaan bank tidak bisa lagi dilakukan dengan secara sembarangan dengan mengesampingkan sikap, profesionalisme dari manajemen bank itu sendiri dan kondisi lain yang sifatnya makro.
Dari sudut pandang pemerintah termasuk di dalamnya kalangan perbankan, program rekapitalisasi ini diyakini dapat mengatasi permasalahan untuk ke luar dari keambrukan perbankan setelah krisis kepercayaan melanda Indonesia. Keseriusan pemerintah dimulai dengan diterbitkannya serangkaian peraturan yang mengatur rekapitalisasi bank umum yang dimulai dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah RI No. 84 Tahun 1998 tanggal 31 Desember 1998 tentang Program Rekapitalisasi Bank Umum. Kemudian disusul dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Gubernur BI 1999 tentang No. 53/KMK/017/1999 dan No.31/17/KEP/GBI tanggal 8 Februari pelaksanaan rekapitalisasi Bank Umum yang dilkuti dengan serangkaian peraturan dan ketentuan lainnya yang mengatur pelaksanaan rekapitalisasi tersebut.
Salah satu peserta dalam program rekapitalisasi tersebut yang berasal dari kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD) adalah Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur atau PT. Bank Jatim. PT. Bank Jatim ini saat digulirkannya program rekapitalisasi masuk dalam kategori B dengan CAR sebesar -12.53% per Desember 1998 (berdasarkan Laporan Tahunan PT. Bank Jatim 2000) sehingga harus diikutkan dalam program rekapitalisasi tersebut (sesuai dengan perjanjian rekapitalisasi yang ditandatangani Pengurus PT. Bank Jatim, Pemerintah dan Bank Indonesia pada tanggal 7 Mei 1999).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh bank peserta rekapitalisasi adalah harus mampu meningkatkan kinerja keuangannya sesuai dengan perjanjian rekapitalisasinya. Untuk melakukan evaluasi kinerja keuangan, salah satu dasar dalam penilaian kondisi keuangan perusahaan serta perkembangannya adalah dengan menggunakan instrumen-instrumen pengukuran tertentu. Instrumen yang digunakan sebagai alat analisis tertentu yang dimaksud adalah rasio-rasio keuangan. Rasio merupakan gambaran suatu hubungan dari dua unsur yang secara matematis memberikan gambaran kepada analis tentang baik buruknya suatu keadaan atau posisi keuangan suatu perusahaan. Analisis terhadap rasio keuangan tersebut menggambarkan hubungan antara, satu pos dengan pos lainnya di dalam laporan keuangan, yang dapat memberikan petunjuk dan gejala-gejala mengenai kondisi keuangan perusahaan. - Kendatipun dengan menganalisis rasio keuangan penyebab sebuah perusahaan akan baik atau buruk. kinerja usahanya tidak dapat langsung diketahui, namun dengan mengetahui rasio keuangan yang dinilai tidak wajar maka penyebab keberhasilan atau kesulitan perusahaan, dapat diketahui dengan meneliti yang lebih dalam.
Oleh karena itu, PT. Bank Jatim sebagai peserta program rekapitalisasi ini juga harus memperhatikan kewajiban seperti yang disyaratkan penyelenggara program diatas yaitu dengan melakukan evaluasi kinerja keuangannya. Analisis kinerja keuangan tersebut sangat diperlukan dan juga evaluasi tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan agar paling tidak hasil evaluasi yang diperoleh dapat dijadikan sebagai salah satu informasi dalam pengambilan keputusan manajemen, selain itu juga dengan dilakukan pengevaluasian kinerja keuangan ini diharapkan mampu mencapai seluruh komitmen kinerja keuangannya sesuai dengan perjanjian rekapitalisasi tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat perbaikan terhadap rasio-rasio keuangan return dan risk PT Bank Jatim antara sebelum dan sesudah pelaksanaan program rekapitalisasi ?
2. Apakak terdapat perbedaan antara rasio-rasio keuangan return dan risk tersebut yang memberikan kontribusi dominan terhadap kinerja keuangan PT. Bank Jatim antara sebelum dan sesudah pelaksanaan program rekapitalisasi ?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah
1. Untuk mengkaji perbaikan antara rasio-rasio keuangan return dan risk PT. Bank Jatim antara, sebelum dan sesudah pelaksanaan program rekapitalisasi.
2. Untuk mengkaji perbedaan rasio-rasio keuangan return dan risk tersebut yang memberikan kontribusi dominan terhadap kinerja keuangan PT. Bank Jatim antara sebelum dan sesudah pelaksanaan rekapitalisasi.
1.4. Manfaat Penelitian
Dengan dicapainya tujuan penelitian ini, maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain
1. Dapat memberikan informasi bagi pihak manajemen PT Bank Jatim akan perbedaan kineria keuangan antara sebelum dan sesudah pelaksanaan program rekapitalisasi.
2. Dapat dijadikan salah satu dasar dalam pengambilan keputusan manajemen PT. Bank Jatim dalam memenuhi seluruh komitmen kinerja keuangan sesuai dengan perjanjian rekapitalisasinya.
3. Dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi pihak ekstern PT. Bank Jatim dan juga bagi para peneliti selanjutnya.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar