BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebijakan publik di Indonesia tidak dirumuskan berdasarkan tuntutan dari kepentingan publik, nampaknya berlaku pula bagi perumusan kebijakan perimbangan keuangan pusat daerah. Kebijakan perimbangan keuangan pusat daerah tidak saja tak berdasarkan keinginan daerah, malahan lebih dari itu, banyak bertentangan dengan keinginan, kepentingan dan kebutuhan daerah.
Bentuk kebijakan yang demikian ini tidak terlepas dari pemikiran dasar dan ciri Pemerintahan Orde Baru, yang mengedepankan penekanan pada kesatuan dan persatuan dalam setiap gerak dan langkahnya, termasuk kegiatan pembangunannya. Kebijakan yang demikian ini, selain menghasilkan hal hal yang bersifat positif, berakibat pula pada sikap negara dan masyarakatnya yang terlalu mendewakan materi dan sikap politik negara yang terlalu over protective. Konsekuensi lain dari paradigma tersebut tercermin pula pada perilaku kebijakan domestik. Hal ini bisa dilihat melalui beberapa produk kebijakan yang berkaitan dengan Pemerintah Daerah seperti Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok pokok Pemerintah di Daerah yang kurang, bahkan tidak memberikan ruang gerak yang cukup bagi Daerah untuk otonominya. Dengan demikian logis dan wajar kalau kebijakan tersebut malah memperkokoh monopoli negara dalam segala pembuatan kebijakan, dan semakin memperlemah posisi daerah terhadap negara.
Paparan diatas, setidak tidaknya tampak pada fenomena peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Diawali dengan pemasungan daerah dalam penggalian Pendapatan Asli Daerah "Gemuk" lewat Undang Undang Nomor 32 tahun 1956 dan Undang Undang Nomor 5 , tahun 1974 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah. Pemerintah Pusat terus berusaha menjadikan daerah sebagai sapi perahan walaupun negara tak "mengakui" secara tersurat, namun dari praktek praktek kenegaraan selama masa orde baru, dapat dilihat betapa hampir setiap kebijakan, terutama yang menyangkut uang, selalu menguntungkan Pemerintah Pusat.
Kondisi tersebut sedikit agak terobati tatkala pada tahun 1992 keluar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyerahan sebagian urusan Pemerintah. Konsekuensi PP tersebut adalah perlunya penyempurnaan program kelembagaan, peningkatan sumber daya manusia, penataan sistem dan aset Pemerintah Daerah serta peningkatan Pendapatan Asli Daerah di setiap Daerah Tingkat II. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah Tingkat II mempunyai fungsi dan tugas yang semakin kompleks dan meningkat dalam rangka pelayanan masyarakat.
Jadi elemen baru pelaksanaan otonomi daerah adalah pola hubungan keuangan pusat dan daerah, karena untuk melaksanakan program dan kegiatan yang menjadi urusan rumah tangga daerah diperlukan sumbersumber pembiayaan dan kemandirian dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran daerah yang bertumpu pada kebutuhan nyata Daerah dengan tidak mengabaikan prinsip Negara Kesatuan (Anonymous, 1999:4). Adanya pemberian otonomi ini, adalah agar daerah dapat mengatur rumah tangganya sendiri, sehingga Pemerintah Daerah karenanya perlu diberi sumber pembiayaan yang cukup.
Sejalan dengan hal tersebut Pamudji (1980:61 62) menegaskan bahwa Pemerintah Daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan. Karenanya masalah keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.
Keluarnya PP Nomor 45 Tahun 1992 yang diharapkan mampu meniupkan angin segar bagi Daerah Tingkat II, ternyata belum mampu mewujudkan cita cita yang dimaksud. Fenomena saat ini yang ada disetiap Daerah Tingkat II adalah bahwa Pendapatan Asli Daerah bukan merupakan sumber penerimaan yang dominan, karena kebijakan makro keuangan masih saja menguntungkan Pemerintah Pusat dan merugikan Daerah. PP Nomor 45 Tahun 1992 lebih menjadikan daerah kelebihan beban urusan yang tak diimbangi dengan sumber keuangan baru. Dengan demikian maka yang diperlukan bagi daerah adalah bagaimana agar Pendapatan Asli Daerahnya meningkat. Dengan demikian apabila Pendapatan Asli Daerah suatu daerah lebih besar dari pemberian Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Daerah dapat lebih leluasa untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatannya secara efektif (Davey, 1988:261).
Dalam rangka pelaksanaan otonomi ini, pada dasarnya daerah mempunyai fungsi keleluasaan untuk meningkatkan dan mengembangkan Pendapatan Asli Daerah melalui kerjasama dengan berbagai pihak, sehingga optimalisasi sumber Pendapatan Asli Daerah yang ada bagi pengembangan daerah akan lebih ditekankan pada pembangunan yang berorientasi ekonomi daerah. Selaras dengan hal tersebut Pontjowinoto (1991:33) menegaskan bahwa peningkatan potensi daerah dapat dilihat dari:
a. Bagaimana daerah dapat meningkatkan pemungutan sumber yang telah diserahkan dengan perkiraan sumber yang diberikan sudah memadai
b. Apakah perlu dilakukan tinjauan ulang atas kebijakan yang berlaku khususnya untuk memberikan sumber sumber pembiayaan yang lebih gemuk kepada daerah.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu adanya peningkatan penerimaan daerah yang berasal dari sumber pajak dan retribusi yang potensial dan dapat mencerminkan kegiatan ekonomi dalam perkembangannya. Pada tahun 1997, ditetapkan suatu kebijakan pemerintah tentang penerimaan pemerintah daerah melalui Undang Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan diterbitkannya Undang undang tersebut diharapkan terjadi penyederhanaan dan perbaikan jenis dan struktur perpajakan daerah, perbaikan sistem administrasi perpajakan daerah dan retribusi daerah sejalan dengan sistem administrasi perpajakan nasional serta meningkatkan pendapatan daerah.
Apakah Undang Undang ini merupakan kebijakan yang ampuh untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah masih merupakan tanda tanya besar. Hal tersebut disebabkan disatu sisi tugas pelayanan dan pembangunan semakin meningkat, yang berarti memperbesar anggaran, namun pada sisi lain pendapatan yang berasal dari pajak, retribusi dan lain lain penerimaan kenaikannya belum mampu mengimbangi kenaikan anggaran. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Blitar selama lima tahun terakhir cenderung meningkat secara absolut, namun secara relatif (prestasi), justru sebaliknya (cenderung menurun) bila dibandingkan dengan total APBD.
Untuk mengantisipasi hal tersebut maka Pemerintah Daerah dituntut untuk menetapkan kebijakan dan upaya yang tepat guna menggali penerimaan daerah dari sumber sendiri sebagai Pendapatan Asli Daerah, sehingga kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah semakin tahun dapat ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan pengamatan Booth (1993:127 128) yang mengemukakan bahwa ketergantungan keuangan terhadap Pemerintah Pusat merupakan hal yang buruk dan kemandirian keuangan merupakan hal yang baik tanpa mempertimbangkan dari sudut kepentingan kebijakan pembangunan jangka panjang. Upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah karenanya yang perlu ditempuh adalah intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan, sehingga dapat diharapkan Pendapatan Asli Daerah akan lebih berperan (Lains,1985:55). Berdasarkan pokok pikiran diatas maka evaluasi terhadap implementasi kebijakan Pemerintah di Pemerintah Kota Blitar dalam hubungannya dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah layak diteliti.
1.2. Perumusan Masalah
Dari uraian yang telah dikemukakan tersebut, maka dirumuskan masalah yang didasarkan pada tema penelitian sebagai berikut :
a. Bagaimana implementasi kebijakan Pemerintah mengenai Undang undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan dampaknya terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah Kota Blitar
b. Faktor faktor apa yang berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan Pendapatan Asli Daerah.
c. Faktor mana yang paling dominan dari faktor tersebut terhadap peningktanan PAD di pemerintah kota Blitar.
1.3. Tujuan Penelitian.
Rumusan tujuan yang dikemukakan mengacu pada permasalahan yang telah diutarakan yaitu :
a. Mendeskripsikan implementasi kebijakan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 dan dampaknya terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah Kota Blitar
b. Menganalisis faktor faktor yang berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan peningkatan Pendapatan Asli Daerah
c. Menganalisis faktor yang paling dominan terhadap peningkatan PAD Pemerintah Daerah Kota Blitar.
1.4. Kegunaan Penelitian
Analisis dan deskripsi dari hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan ilmiah, disisi lain diharapkan dapat digunakan sebagai umpan balik dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah maupun perannya terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagai berikut
a. Bidang Pengembangan Ilmu (akademis)
Memberikan kontribusi akademis bagi pengetahuan dan pengembangan ilmu yang berkaitan dengan konsep implementasi kebijakan pengelolaan keuangan
b. Bidang Guna Laksana (Praktis)
Memberikan gambaran kepada Pemerintah khususnya Pemerintah Kota Blitar dalam memberdayakan dan meningkatkan sector Pendapatan Asli Daerah agar mempunyai kontribusi yang berarti pada Anggaran. Pendapatan dan Belanja Daerah.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar